Selasa, 03 Mei 2011

TUMPEK LANDEP

 SAYA SANGAT BERHARAP KEPADA UMAT HINDU SALING MEMAHAMI MAKNA DARI HARI TUMPEK LANDEP. DI JAMAN ERA SERBA INSTAN INI MARI KITA SALING MENGARGAI DAN SALING BELAJAR,,,

Tumpek Landep.

Dari sudut pandang Pasupati. Di dalam sebuah lembaga kehidupan – biji sinar Matahari, terkandung Sanghyang Tripurusa ; dan atas kehendak, Sanghyang Paramasiwa memasuki Sanghyang Sadhasiwa, Sanghyang Sadasiwa memasuki Sanghyang Sadarudra alias Siwa, kemudian memasuki Dewa Wisnu, sebagai Sanghyang Pasupati. Analoginya seperti ini, seandainya biji Anung ( Atom ) tidak dilapisi oleh zat air maka apa saja yang dimasuki akan Pralaya – hangus terbakar. Lapisan yang kuat dari Dewa Wisnu disebut Kulit Ari. Di dalam kulit Ari selalu akan ada cairan bening, berasal dari air suci Dewa Wisnu ; Dewa Wisnu, merupakan manifestasi Tuhan dalam konteks menciptakan pelindung. Sanghyang Pasupati erat kaitannya dengan kelahiran Manusia.

Sinar Matahari dan Bulan dikatakan sebagai perantara pati dan urip. Dalam tattwa Kalepasan dan Kamoksan dijelaskan, bahwa datang dan perginya Paratma ke Alam Sorga sebagai perantaranya adalah Cahaya Matahari dan Bulan. Sinar Bulan menurunkan zat-zat dari Pretiwi yang melapisi Bhuana sebagai media dari Paratma. Media itu, yakni :

1. Brahma-atma, ~ Bhur loka.         5. Anti-atma, ~ Jana loka.
2. Antara-atma, ~ Bwah loka.         6. Niskala-atma, ~ Tapa loka.
3. Para-atma, ~ Swah loka.             7. Sunia-atma, ~ Satya loka.
4. Nir-atma, ~ Maha loka.
.         
Dikatakan Loka, karena lapisan ini terdiri dari uapan zat-zat Bumi yang tidak terpengaruh oleh gaya grafitasi bumi. Uapan zat-zat bumi ini langsung menjadi pelapis Bhuana. Bhu artinya zat-zat yang sudah halus, dapat dikatakan unsur-unsur Hara, menjadi Saraswa, sebagai penyebab adanya Gelombang/getaran. Sinar Bulan selalu dalam keadaan sejuk/dingin, itu sebabnya Dewi Bulan disebut Ratih ; Rat artinya kumpulan unsur-unsur zat padat, sebagai kules, konotasinya kulit Ari ; dan Ih artinya sudah pada kodratnya, atas kehendak Tuhan. Jadi, sudah pada hakekatnya Anung/Atom itu disebut Smara, dan unsur-unsur zat yang disebabkan oleh adanya Bulan disebut Ratih ( Smara Ratih ).

Kembali pada kelahiran manusia. Awatara datang dari Paing – Brahman ; Sang Mateja datang dari alam Dewa – Pasah, alam Langit, sinar/cahaya/Div  ; Sang Nyrewadi, Numadi datang dari alam BhuanaWage, alam pelindung yaitu alam Bhetara / alam Leluhur, merupakan jalur untuk bereinkarnasi ; Sang Numitis datang dari Sorga dunia dan Neraka dunia. Sorga yang terdekat berada di wilayah Pura-pura, yakni : Pura Pedharman dan Pura Khayangan jagat.

Semua kejadian tersebut diatas kasuluhan dening Surya Candra, sehingga Tumpek Landep dan Redita Umanis Ukir berhubungan erat. Redite Umanis Ukir adalah pengakuan dan kehomatan kepada Tuhan dan Alam, yang diterangi oleh Matahari dan Bulan sebagai kodrat penerangan Maha Guru. Ukir itu berarti Gunung, maksudnya para Resi Agung Tapeng Gunung sebagai penerima Wahyu dari Wasa Wasitwa ( Sadhasiwa ). Kemudian, Redite Umanis Ukir ditetapkan sebagai hari rerainan jagat Piodalan Mahaguru / Sanghyang Pramesti Guru. Kata Pramesti berasal dari akar kata Prami dan esti ; Prami adalah Dewi Uma, dampati dari Bhetara Guru ; sedangkan Esti artinya langgeng pada kodratnya sebagai pintu datang dan perginya Paramatma.

I.      Energi Alam dipandang bagaikan sebilah keris

Cahaya alam Langit diteruskan oleh Matahari, Bulan, dan Bintang. Kalau kita dalami kejadian yang ada di Alam/Bhuana Agung, dikatakan bahwa Bulan dan Bintang sebagai pengadaan Sarung dan Keris. Mengapa pada malam hari ?, karena unsur-unsur zat yang ada pada Sapta loka – tujuh lapisan, dikristalkan oleh dinginnya sang malam, kemudian, dimasuki oleh Anung ( Atom ) dari Cahaya Alam Langit, sebagai kerisnya. Dan, keris yang sudah terbentuk di Bhuana Agung oleh Sanghyang Pramesti GuruUma-Guru, memasuki makhluk hidup, selanjutnya masuk ke tubuh manusia. Jadi, manusialah sekarang sebagai Sarung dari keris tersebut.

Keris tidak terlepas dari makna ketajamannya, yang terdiri dari tiga sisi ketajaman, yang dijadikan lambang Tri Murti. Pada sisi kanan, adalah ketajaman Brahma, sisi kiri adalah tajamnya Wisnu, dan ujung keris merupakan tajamnya Iswara. Intinya, lebih pada penyebab ketajaman dari tujuan dan pikiran manusia yang menjadi pangkal kekuatan hidup. Dengan kata lain, ketajaman keris itu menjadi kecerdasan Spiritual, kecerdasan Intelektual, dan Kecerdasan Emosional. Dan untuk mengasah ketajaman Keris adalah dengan Brata ; Brata artinya mengurangi santapan, yaitu :
1.      Mengurangi mengkonsumsi beras dan ketan, diganti dengan pala bungkah dari jenis umbi-umbian, seperti umbi Talas, Umbi Ketela rambat, umbi ketela pohon. Umbi-umbian tersebut bisa disantap dengan menambahkan sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan sarwa wija : jagung. Serta, selama menjalankan brata dapat mengkonsumsi buah-buahan. Tujuannya, mengurangi kadar karbohidrat di dalam tubuh.

2.      Mengurangi berbicara yang tidak ada gunanya. Selama mabrata, berhenti bersenda gurau dengan bahasa yang kurang baik ; tidak berucap kasar atau pun memaki-maki, apalagi pada saat perut panas. Arahkan ucapan tersebut pada hal-hal yang bermanfaat. Tujuannya, mengurangi energi keluar secara berlebihan.

3.      Hindarkan bepergian ke tempat-tempat hiburan yang rentan dengan ikatan emosional. Mengurangi santapan Indria, Panca Indria.

Semua Brata yang dilakukan pada saat rerainan jagat mengarah pada keseimbangan jaba-jro, namun tidak sampai mengurangi aktifitas rutin sehari-hari, seperti bekerja sebagaimana mestinya. Jika ketiga faktor tersebut sudah dilaksanakan, itulah proses menghaluskan Budi, dan menciptakan keluhuran Budi.


II.      Mengetahui kebenaran Triguna

Triguna yang umum dikenal oleh kalangan masyarakat di Bali hanya sebatas pada ucapan Satwan, Rajas, dan Tamas. Dalam Lontar Pangupadesa, dijelaskan tentang Triguna, seperti kutipan berikut ini :

1.      Tamas = Sabda ; Wyepara = Siwa = Atmika Tattwa ; hanya dengan melaksanakan Brata sifat rakus, loba, dan sejenisnya bisa dikurangi. Atau dengan mengatur pola makan. Siwa yang memasuki Atmika Tattwa, artinya Siwa yang memasuki Alam kegelapan. Jelasnya, ketika kita melihat ke dalam diri – dengan memejamkan mata, maka yang tampak pada mulanya hanyalah suasana gelap, inilah yang dinamakan Tattwa Punggung dan Tattwa Malupa. Tamas konotasinya Sabda wiapara, artinya Budi Tamas, merupakan sumber penyebab dari rasa takut, seperti : takut miskin, kelaparan, kecewa, dihina dan lain sebagainya. Sama halnya dengan orang-orang yang belum mampu memandang celah kehidupan atau pun belum menghasilkan, maka kerjanya hanya meminta makan dari orang yang menanggung beban hidupnya.

2.      Rajas = Sabda ; langgeng = Sadasiwa ; dengan melakukan Yasa atas apa yang dilakoni merupakan upaya untuk memperbaiki Rajas, artinya bagi orang-orang yang telah mempunyai skill atau keahlian kerja, hanya dengan ngeyasain Rajas itu sendiri, maka ada perubahan. Tegasnya, sudah ada kesiapan untuk menerima apa adanya, dan telah menyadari bahwa hidup ini membutuhkan sarana penunjang seperti : sandang, pangan, dan papan – kebutuhan untuk berlindung dari keadaan panas dan hujan. Dengan demikian sudah mengarah pada kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup, serta lebih menyadari bahwa Alam Semesta ini dianggap seorang Ibu yang selalu menjamin kelangsungan hidupnya. Jadi, ketika seseorang sudah mempunyai pandangan hidup dan sanggup untuk mandiri, dikatakan sebagai Sabda Langgeng. Sebab, pikiran dan intuisinya telah bekerja dan berkembang, seolah-olah selalu memunculkan inspirasi dari dalam dirinya sendiri. Ini berarti sudah menghasilkan banyak Ide yang positif.

3.      Satwan konotasinya Tutur Jati ; meningkatkan Sattwam adalah dengan Yoga dan Semadi. Sattwam adalah sifat-sifat yang ada pada Sattwa ( Pasu ), misalnya : Lubdaka, adalah seekor Harimau, aktifitasnya selalu memburu kebutuhan pangan saja. Sifat-sifat itu ada pada diri manusia, dan manusia disebut Parapasu. Dalam mithologi, dikisahkan bahwa si Lubdaka mampu melewati kegelapan malam. Dengan begadang semalam suntuk ( jagra ), dikatakan bahwa ia telah melakukan penebusan dosa. Esensinya, manusia adalah makhluk yang mempunyai rasio. Sattwam diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah mampu meningkatkan pemahamannya terhadap keberadaan Alam Semesta ini. Bahwa ada yang menciptakan alam semesta ini, dan meyakini bahwa Tuhan Yang Mahapencipta, Yang Sejati Adalah Tuhan. Di sisi lain, bahwa Alam ini bersifat Maya – disebut alam maya, Mayapada. Orang-orang yang sudah mempunyai pandangan terhadap : Tuhan sebagai Yang Sejati, Alam sebagai Alam Maya,  maka, Satwan itu disebut Tutur Jati.

Dengan penjelasan Triguna seperti di atas, selanjutnya kita mempunyai pandangan yang positif menuju tugas dan kewajiban hidup yang baik dan benar. Lebih ditekankan pada tujuan pokok, menuju Paramartasiwa – sebagai tujuan Yang Tertinggi.



Tumpek Landep.

Dari sudut pandang Pasupati. Di dalam sebuah lembaga kehidupan – biji sinar Matahari, terkandung Sanghyang Tripurusa ; dan atas kehendak, Sanghyang Paramasiwa memasuki Sanghyang Sadhasiwa, Sanghyang Sadasiwa memasuki Sanghyang Sadarudra alias Siwa, kemudian memasuki Dewa Wisnu, sebagai Sanghyang Pasupati. Analoginya seperti ini, seandainya biji Anung ( Atom ) tidak dilapisi oleh zat air maka apa saja yang dimasuki akan Pralaya – hangus terbakar. Lapisan yang kuat dari Dewa Wisnu disebut Kulit Ari. Di dalam kulit Ari selalu akan ada cairan bening, berasal dari air suci Dewa Wisnu ; Dewa Wisnu, merupakan manifestasi Tuhan dalam konteks menciptakan pelindung. Sanghyang Pasupati erat kaitannya dengan kelahiran Manusia.

Sinar Matahari dan Bulan dikatakan sebagai perantara pati dan urip. Dalam tattwa Kalepasan dan Kamoksan dijelaskan, bahwa datang dan perginya Paratma ke Alam Sorga sebagai perantaranya adalah Cahaya Matahari dan Bulan. Sinar Bulan menurunkan zat-zat dari Pretiwi yang melapisi Bhuana sebagai media dari Paratma. Media itu, yakni :

1. Brahma-atma, ~ Bhur loka.         5. Anti-atma, ~ Jana loka.
2. Antara-atma, ~ Bwah loka.         6. Niskala-atma, ~ Tapa loka.
3. Para-atma, ~ Swah loka.             7. Sunia-atma, ~ Satya loka.
4. Nir-atma, ~ Maha loka.
.         
Dikatakan Loka, karena lapisan ini terdiri dari uapan zat-zat Bumi yang tidak terpengaruh oleh gaya grafitasi bumi. Uapan zat-zat bumi ini langsung menjadi pelapis Bhuana. Bhu artinya zat-zat yang sudah halus, dapat dikatakan unsur-unsur Hara, menjadi Saraswa, sebagai penyebab adanya Gelombang/getaran. Sinar Bulan selalu dalam keadaan sejuk/dingin, itu sebabnya Dewi Bulan disebut Ratih ; Rat artinya kumpulan unsur-unsur zat padat, sebagai kules, konotasinya kulit Ari ; dan Ih artinya sudah pada kodratnya, atas kehendak Tuhan. Jadi, sudah pada hakekatnya Anung/Atom itu disebut Smara, dan unsur-unsur zat yang disebabkan oleh adanya Bulan disebut Ratih ( Smara Ratih ).

Kembali pada kelahiran manusia. Awatara datang dari Paing – Brahman ; Sang Mateja datang dari alam Dewa – Pasah, alam Langit, sinar/cahaya/Div  ; Sang Nyrewadi, Numadi datang dari alam BhuanaWage, alam pelindung yaitu alam Bhetara / alam Leluhur, merupakan jalur untuk bereinkarnasi ; Sang Numitis datang dari Sorga dunia dan Neraka dunia. Sorga yang terdekat berada di wilayah Pura-pura, yakni : Pura Pedharman dan Pura Khayangan jagat.

Semua kejadian tersebut diatas kasuluhan dening Surya Candra, sehingga Tumpek Landep dan Redita Umanis Ukir berhubungan erat. Redite Umanis Ukir adalah pengakuan dan kehomatan kepada Tuhan dan Alam, yang diterangi oleh Matahari dan Bulan sebagai kodrat penerangan Maha Guru. Ukir itu berarti Gunung, maksudnya para Resi Agung Tapeng Gunung sebagai penerima Wahyu dari Wasa Wasitwa ( Sadhasiwa ). Kemudian, Redite Umanis Ukir ditetapkan sebagai hari rerainan jagat Piodalan Mahaguru / Sanghyang Pramesti Guru. Kata Pramesti berasal dari akar kata Prami dan esti ; Prami adalah Dewi Uma, dampati dari Bhetara Guru ; sedangkan Esti artinya langgeng pada kodratnya sebagai pintu datang dan perginya Paramatma.

I.      Energi Alam dipandang bagaikan sebilah keris

Cahaya alam Langit diteruskan oleh Matahari, Bulan, dan Bintang. Kalau kita dalami kejadian yang ada di Alam/Bhuana Agung, dikatakan bahwa Bulan dan Bintang sebagai pengadaan Sarung dan Keris. Mengapa pada malam hari ?, karena unsur-unsur zat yang ada pada Sapta loka – tujuh lapisan, dikristalkan oleh dinginnya sang malam, kemudian, dimasuki oleh Anung ( Atom ) dari Cahaya Alam Langit, sebagai kerisnya. Dan, keris yang sudah terbentuk di Bhuana Agung oleh Sanghyang Pramesti GuruUma-Guru, memasuki makhluk hidup, selanjutnya masuk ke tubuh manusia. Jadi, manusialah sekarang sebagai Sarung dari keris tersebut.

Keris tidak terlepas dari makna ketajamannya, yang terdiri dari tiga sisi ketajaman, yang dijadikan lambang Tri Murti. Pada sisi kanan, adalah ketajaman Brahma, sisi kiri adalah tajamnya Wisnu, dan ujung keris merupakan tajamnya Iswara. Intinya, lebih pada penyebab ketajaman dari tujuan dan pikiran manusia yang menjadi pangkal kekuatan hidup. Dengan kata lain, ketajaman keris itu menjadi kecerdasan Spiritual, kecerdasan Intelektual, dan Kecerdasan Emosional. Dan untuk mengasah ketajaman Keris adalah dengan Brata ; Brata artinya mengurangi santapan, yaitu :
1.      Mengurangi mengkonsumsi beras dan ketan, diganti dengan pala bungkah dari jenis umbi-umbian, seperti umbi Talas, Umbi Ketela rambat, umbi ketela pohon. Umbi-umbian tersebut bisa disantap dengan menambahkan sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan sarwa wija : jagung. Serta, selama menjalankan brata dapat mengkonsumsi buah-buahan. Tujuannya, mengurangi kadar karbohidrat di dalam tubuh.

2.      Mengurangi berbicara yang tidak ada gunanya. Selama mabrata, berhenti bersenda gurau dengan bahasa yang kurang baik ; tidak berucap kasar atau pun memaki-maki, apalagi pada saat perut panas. Arahkan ucapan tersebut pada hal-hal yang bermanfaat. Tujuannya, mengurangi energi keluar secara berlebihan.

3.      Hindarkan bepergian ke tempat-tempat hiburan yang rentan dengan ikatan emosional. Mengurangi santapan Indria, Panca Indria.

Semua Brata yang dilakukan pada saat rerainan jagat mengarah pada keseimbangan jaba-jro, namun tidak sampai mengurangi aktifitas rutin sehari-hari, seperti bekerja sebagaimana mestinya. Jika ketiga faktor tersebut sudah dilaksanakan, itulah proses menghaluskan Budi, dan menciptakan keluhuran Budi.


II.      Mengetahui kebenaran Triguna

Triguna yang umum dikenal oleh kalangan masyarakat di Bali hanya sebatas pada ucapan Satwan, Rajas, dan Tamas. Dalam Lontar Pangupadesa, dijelaskan tentang Triguna, seperti kutipan berikut ini :

1.      Tamas = Sabda ; Wyepara = Siwa = Atmika Tattwa ; hanya dengan melaksanakan Brata sifat rakus, loba, dan sejenisnya bisa dikurangi. Atau dengan mengatur pola makan. Siwa yang memasuki Atmika Tattwa, artinya Siwa yang memasuki Alam kegelapan. Jelasnya, ketika kita melihat ke dalam diri – dengan memejamkan mata, maka yang tampak pada mulanya hanyalah suasana gelap, inilah yang dinamakan Tattwa Punggung dan Tattwa Malupa. Tamas konotasinya Sabda wiapara, artinya Budi Tamas, merupakan sumber penyebab dari rasa takut, seperti : takut miskin, kelaparan, kecewa, dihina dan lain sebagainya. Sama halnya dengan orang-orang yang belum mampu memandang celah kehidupan atau pun belum menghasilkan, maka kerjanya hanya meminta makan dari orang yang menanggung beban hidupnya.

2.      Rajas = Sabda ; langgeng = Sadasiwa ; dengan melakukan Yasa atas apa yang dilakoni merupakan upaya untuk memperbaiki Rajas, artinya bagi orang-orang yang telah mempunyai skill atau keahlian kerja, hanya dengan ngeyasain Rajas itu sendiri, maka ada perubahan. Tegasnya, sudah ada kesiapan untuk menerima apa adanya, dan telah menyadari bahwa hidup ini membutuhkan sarana penunjang seperti : sandang, pangan, dan papan – kebutuhan untuk berlindung dari keadaan panas dan hujan. Dengan demikian sudah mengarah pada kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup, serta lebih menyadari bahwa Alam Semesta ini dianggap seorang Ibu yang selalu menjamin kelangsungan hidupnya. Jadi, ketika seseorang sudah mempunyai pandangan hidup dan sanggup untuk mandiri, dikatakan sebagai Sabda Langgeng. Sebab, pikiran dan intuisinya telah bekerja dan berkembang, seolah-olah selalu memunculkan inspirasi dari dalam dirinya sendiri. Ini berarti sudah menghasilkan banyak Ide yang positif.

3.      Satwan konotasinya Tutur Jati ; meningkatkan Sattwam adalah dengan Yoga dan Semadi. Sattwam adalah sifat-sifat yang ada pada Sattwa ( Pasu ), misalnya : Lubdaka, adalah seekor Harimau, aktifitasnya selalu memburu kebutuhan pangan saja. Sifat-sifat itu ada pada diri manusia, dan manusia disebut Parapasu. Dalam mithologi, dikisahkan bahwa si Lubdaka mampu melewati kegelapan malam. Dengan begadang semalam suntuk ( jagra ), dikatakan bahwa ia telah melakukan penebusan dosa. Esensinya, manusia adalah makhluk yang mempunyai rasio. Sattwam diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah mampu meningkatkan pemahamannya terhadap keberadaan Alam Semesta ini. Bahwa ada yang menciptakan alam semesta ini, dan meyakini bahwa Tuhan Yang Mahapencipta, Yang Sejati Adalah Tuhan. Di sisi lain, bahwa Alam ini bersifat Maya – disebut alam maya, Mayapada. Orang-orang yang sudah mempunyai pandangan terhadap : Tuhan sebagai Yang Sejati, Alam sebagai Alam Maya,  maka, Satwan itu disebut Tutur Jati.

Dengan penjelasan Triguna seperti di atas, selanjutnya kita mempunyai pandangan yang positif menuju tugas dan kewajiban hidup yang baik dan benar. Lebih ditekankan pada tujuan pokok, menuju Paramartasiwa – sebagai tujuan Yang Tertinggi.

HARI RAYA AGAMA HINDU


RERAINAN JAGAT


KAJIAN MATERI.

Materi ini menjadi pilihan topik yang perlu dikaji lebih mendalam. Selama ini, hari-hari yang dinamakan rerainan lebih diaktualisasikan dalam suatu bentuk persembahan ( wujud ) ritual berupa banten dan segehan/caru yang dibingkai dengan tatanan nista, madya, dan utama, serta dibarengi dengan gerak laku ( karma marga ) yakni persembahan diri ( persembahyangan ).


LATAR BELAKANG.

Ada baiknya, perayaan hari raya yang telah berjalan di masyarakat tersebut direnungkan kembali. Mencari tahu, sejak kapan rerainan itu mentradisi di Bali ?, Mengapa rerainan itu ada, tentunya ada makna, tujuan, dan sudah dipastikan harinya ( dewasa ) ?, serta masyarakat sudah secara turun temurun melaksanakannya tanpa berani merubah, apalagi meniadakannya. Sebelum melangkah lebih jauh untuk melakukan pengkajian materi ini, perlu diketahui latar belakang agenda kegiatan ini diadakan.

Berbagai cerita pengalaman tentang penelusuran kehidupan yang bertujuan mencari tahu apa yang selama ini telah diamanatkan oleh orang tua kita, yakni orang Bali yang beragama Hindu. Dan secara jujur, pertanyaan mendasar tersebut sampai hari ini masih samar pemahamannya. Cobalah tanya diri masing-masing !!! Yang masih kuat terngiang di benak ini adalah sedari kecil selalu dibuatkan upacara otonan. Dan setiap rerainan seperti Galungan, Kuningan, Pagerwesi, hanya rutin membantu mempersiapkan sesajen dengan segala atributnya. Jadi, hanya sibuk dengan beragam kegiatan tanpa mengetahui untuk apa dan mengapa itu dibuat ? Rutinitas kegiatan itu demikian terpola dalam ingatan sehingga setiap perayaan hari raya “ harus “ ada banten dan atributnya serta dilengkapi dengan gerak lakunya ( karma marga ).

Singkat cerita. Ketika mulai menjalani hidup jauh dari orang tua/keluarga besar, umumnya kegiatan ritual mulai jarang dilakoni. Nah, bagaimana kalau sampai menetap di luar Bali, dan dengan hanya berbekal pemahaman akan makna upakara-upacara masih samar – saru gremeng, khususnya untuk peringatan hari kelahiran/oton ? Maka waktu peringatan hari kelahiran ( oton ) tersebut akan lewat begitu saja, tanpa ada prosesi apa pun. Begitu pula dengan perayaan hari raya lainnya seperti galungan, kuningan dan pagerwesi, umumnya hanya dirayakan sesuai dengan keyakinan yang samar, dan tidak ada persembahan. Disamping tidak mengerti, yang menjual sarana upakara bebanten pun juga tidak ada. Maka lengkaplah kegamangan pikiran dan perasaan pada saat itu.

Untuk menghindari kondisi seperti tersebut itu, sebaiknya kita mengisi diri, belajar  pada salah satu pesantian tempat pelatihan pembuatan dan penataan banten, serta melaksanakan suatu prosesi upacara. Proses seperti ini bertujuan untuk mengembangkan keterampilan diri, memperluas wawasan pengetahuan makna ajaran agama, terutama yang dekat dengan keseharian kita. Namun, hal ini dilakukan semata-mata hanya untuk diri sendiri dan keluarga – anak, menantu, cucu – yang menjadi bagian dari keluarga.

Pertanyaannya, bagaimana menjadi orang Hindu Bali yang berada jauh dari keluarga besar, dari masyarakat Hindu, serta dari lingkungan yang mampu menyediakan sarana dan prasarana upakara dan pelaksanaan upacara ? Apakah pakem seperti itu yang wajib dilaksanakan ? Bagaimana memandang saudara-saudara kita yang telah meyakini suatu paham “ impor “ dan telah menjamur di sekitar kita ? Salahkah mereka ?

Mengkritisi cerita pengalaman tersebut di atas, akhirnya kita perlu merenung bersama. Hingga tercetuslah kemudian pertanyaan ?, “ Untuk siapa kalender Bali ini dibuat “? Tentunya ada makna /esensi yang perlu diungkap dan dijabarkan, dengan harapan agar lebih mudah diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.


TUJUAN PENGKAJIAN.

            Harus diakui, selama ini ekspresi umat Hindu di Bali, didominasi dan terfokus pada persembahan keluar berupa banten/sesajen yang bisa dilihat / dinilai orang lain. Seperti itulah saat ini yang menjadi ukurannya. Sudah semestinya dibuatkan suatu tata cara belajar yang sesuai dengan penjenjangan hidup, dengan mengambil spirit Catur Asrama sebagai terminalnya. Pola pikir masyarakat ( manusia ) pada umumnya sering melawan hati nuraninya, menggilas rasa yang bersemayam dalam sanubari ( adnya ), dan membiarkan “ sang pikir “ ( jnyana ) berkuasa sebagai pengendali atas dirinya.


Berikut ini,  rerainan yang lumrah diperingati oleh umat Hindu Sedharma, yakni :

  1. Saniscara Kliwon Nawa Uye, ~ Tumpek Kandang.
  2. Buda Wage Menail, ~ Buda Cemeng Menail.
  3. Wraspati Kliwon Menail, ~ Kajeng Kliwon Uwudan.
  4. Sukra Umanis Menail, ~ Hari Bhatari Shri.
  5. Anggara Kliwon Prangbakat, ~ Anggara Kasih Prangbakat. 
  6. Sukra Kliwon Bala, ~ Kajeng Kliwon Enyitan.


  1. Buda Kliwon Ugu.
  2. Saniscara Kliwon Wayang, ~ Tumpek Wayang.
  3. Buda Wage Kelawu, ~ Buda Cemeng Kelawu.
  4. Sukra Umanis Kelawu, ~ Hari Bhatari Shri.
  5. Anggara Kliwon Dukut, ~ Anggara Kasih Dukut.
  6. Redite Kliwon Watugunung, ~ Kajeng Kliwon Pemelastali / Watugunung runtuh.
  7. Anggara Pahing Watugunung, ~ Hari Paid-paidan.
  8. Buda Pon Watugunung, ~ Hari Urip.


  1. Wraspati Wage Watugunung, ~ Hari Patetegan.
  2. Sukra Kliwon Watugunung, ~ Hari Pangeredanan.
  3. Saniscara Umanis Watugunung, ~ Hari Saraswati.
  4. Redite Pahing Dasa Sinta, ~ Hari Banyu Pinaruh.
  5. Soma Pon Dasa Sinta, ~ Hari Soma Ribek.
  6. Anggara Wage Dasa Sinta, ~ Hari Sabuh Mas.
  7. Buda Kliwon Dasa Sinta, Hari Pagerwesi.
  8. Soma Kliwon Landep, ~ Kajeng Kliwon Uwudan.
  9. Sanicara Kliwon Landep, ~ Tumpek Landep.
  10. Redite Umanis Ukir, ~ Memuja Bhatara Hyang Guru.
  11. Buda Wage Ukir, ~ Buda Cemeng Ukir.
  12. Sukra Umanis Ukir, ~ Hari Bhatari Shri.
  13. Anggara Kliwon Kulantir, ~ Anggara Kasih Kulantir, dan Kajeng Kliwon Enyitan.


  1. Soma Umanis Tulu, ~ Memuja Bhatara-Bhatari di Merajan.
  2. Buda Kliwon Gumbreg dan Kajeng Kliwon Uwudan.
  3. Saniscara Kliwon Wariga, ~ Tumpek Uduh/Pengatag.
  4. Buda Wage Warigadian, ~ Buda Cemeng Warigadian.
  5. Wraspati Kliwon Warigadian, ~ Kajeng Kliwon Enyitan.
  6. Sukra Umanis Warigadian, ~ Hari Bhatari Shri.


  1. Anggara Kliwon Julungwangi, ~ Anggara Kasih Julungwangi.
  2. Wraspati Wage Eka Sungsang, ~ Hari Sugian Jawa.
  3. Sukra Kliwon Sungsang, ~ Hari Sugian Bali, Kajeng Kliwon Uwudan.
  4. Redite Pahing Dungulan, ~ Hari Penyekeban.
  5. Soma Pon Dungulan, ~ Hari Penyajaan Galungan.
  6. Anggara Wage Dungulan, ~ Hari Penampahan Galungan.
  7. Buda Kliwon Dungulan, ~ Hari Raya Galungan.
  8. Wraspati Wage Dungulan, ~ Hari Umanis Galungan.
  9. Saniscara Pon Dungulan, ~ Hari Pemaridan Guru.
  10. Redite Wage Kuningan, ~ Hari Ulihan.
  11. Soma Kliwon Kuningan, ~ Pemacekan Agung.
  12. Saniscara Kliwon Kuningan, ~ Hari Raya Kuningan. Tumpek Kuningan. Kajeng Kliwon Enyitan.


  1. Buda Wage Langkir, ~ Buda Cemeng Langkir.
  2. Sukra Umanis Langkir, ~ Hari Bhatari Shri.
  3. Anggara Kliwon Medangsia, ~ Anggara Kasih Medangsia.
  4. Redite Kliwon Pujut, ~ Kajeng Kliwon Uwudan.
  5. Buda Kliwon Pahang, ~ Pegatwakan.
  6. Soma Kliwon Krulut, ~ Kajeng Kliwon Enyitan.


  1. Saniscara Kliwon Krulut, ~ Tumpek Krulut.
  2. Buda Wage Merakih, ~ Buda Cemeng Merakih.
  3. Sukra Umanis Merakih, ~ Hari Bhatari Shri.
  4. Anggara Kliwon Dwi Tambir, ~ Anggara Kasih Tambir. Kajeng Kliwon Uwudan.
  5. Anggara Pahing Medangkungan, ~ Memuja Hyang Widhi / Bhatara Brahma di Merajan Kawitan.
  6. Buda Kliwon Matal, dan Kajeng Kliwon Enyitan.
  7. Anggara Kliwon Dukut, ~ Anggara kasih Dukut.


  1. Redite Umanis Ukir, ~ Memuja Bhatara Hyang Guru.
  2. Soma Umanis Tulu, ~ Memuja Bhatara/Bhatari di Merajan.


  1. Anggara Pahing Medangkungan, ~ Memuja Hyang Widhi/ Bhatara Brahma di Merajan Kawitan.
  2. Buda Pon Medangkungan, ~ Melakukan Upakara Nangluk Merana.


TUMPEK :

¯  Saniscara Kliwon Nawa Uye, ~ Tumpek Kandang.
¯  Saniscara Kliwon Wayang, ~ Tumpek Wayang.
¯  Saniscara Kliwon Landep, ~ Tumpek Landep.
¯  Saniscara Kliwon Wariga, ~ Tumpek Uduh/Pengatag/Wariga.
¯  Saniscara Kliwon Krulut, ~ Tumpek Krulut.
¯  Saniscara Kliwon Kuningan, ~ Tumpek Kuningan.


PURNAMA – TILEM :

¯  Purnama Sasih Kelima     ;           Tilem Sasih Kelima.
¯  Purnama Sasih Keenam. ;           Tilem Sasih Keenam.
¯  Purnama Sasih Kepitu.     ;           Tilem Sasih Kepitu.
¯  Purnama Sasih Kewulu.   ;           Tilem Sasih Kewulu.
¯  Purnama Sasih Kesanga. ;           Tilem Kesanga.
¯  Purnama Sasih Kedasa.    ;           Tilem Kedasa.
¯  Purnama Sasih Jiyesta.     ;           Tilem Sasih Jiyesta.
¯  Purnama Sasih Sadha.      ;           Tilem Sasih Sadha.
¯  Purnama Sasih Kasa.       ;           Tilem Sasih Kasa.
¯  Purnama Sasih Karo.       ;           Tilem Sasih Karo.
¯  Purnama Sasih Ketiga.     ;           Tilem Sasih Ketiga.
¯  Purnama Sasih Kapat.      ;           Tilem Sasih Kapat.


KAJENG KLIWON :

¯  Kajeng Kliwon Uwudan.
¯  Kajeng Kliwon Enyitan.
¯  Redite Kliwon Watugunung, ~ Kajeng Kliwon Pemelastali.


ANGGARA KASIH :

¯  Anggara Kliwon Prangbakat, ~ Anggara Kasih Prangbakat.
¯  Anggara Kliwon Dukut, ~ Anggara kasih Dukut.
¯  Anggara Kliwon Kulantir, ~ Anggara Kasih Kulantir.
¯  Anggara Kliwon Julungwangi, ~ Anggara Kasih Julungwangi.
¯  Anggara Kliwon Medangsia, ~ Anggara Kasih Medangsia.
¯  Anggara Kliwon Dwi Tambir, ~ Anggara Kasih Tambir.



Uku Watugunung, hari raya SARASWATI :

¯  Redite Kliwon Watugunung, ~ Watugunung runtuh.
¯  Anggara Pahing Watugunung, ~ Hari Paid-paidan.
¯  Buda Pon Watugunung, ~ Hari Urip.
¯  Wraspati Wage Watugunung, ~ Hari Patetegan.
¯  Sukra Kliwon Watugunung, ~ Hari Pangeredanan.
¯  Saniscara Umanis Watugunung, ~ Hari Saraswati, Turunannya Ilmu Pengetahuan.


Uku Sinta, hari raya PAGERWESI :

¯  Redite Pahing Dasa Sinta, ~ Hari Banyu Pinaruh.
¯  Buda Kliwon Dasa Sinta, ~ Hari Pagerwesi.


Hari raya SIWARATRI


Uku Sungsang – Dungulan, hari raya GALUNGAN :

¯  Wraspati Wage Eka Sungsang, ~ Hari Sugian Jawa.
¯  Sukra Kliwon Sungsang, ~ Hari Sugian Bali.
¯  Redite Pahing Dungulan, ~ Hari Penyekeban.
¯  Soma Pon Dungulan, ~ Hari Penyajaan Galungan.
¯  Anggara Wage Dungulan, ~ Hari Penampahan Galungan.
¯  Buda Kliwon Dungulan, ~ Hari Raya Galungan.
¯  Wraspati Wage Dungulan, ~ Hari Umanis Galungan.
¯  Saniscara Pon Dungulan, ~ Hari Pemaridan Guru.


Uku Kuningan, hari raya KUNINGAN :

¯  Redite Wage Kuningan, ~ Hari Ulihan.
¯  Soma Kliwon Kuningan, ~ Pemacekan Agung.
¯  Sukra Wage Kuningan, ~ Penampahan Kuningan.
¯  Saniscara Kliwon Kuningan, ~ Hari Raya Kuningan.


Uku Pahang :

¯  Buda Kliwon Pahang, ~ Pegatwakan.


Hari raya NYEPI :

¯  Melasti, Pekiyisan ke Segara/mata air suci.
¯  Tilem Kesanga dan Melakukan Bhuta Yadnya/Tawur Agung Kesanga/Mecaru, Ngerupuk.
¯  Nyepi, Tahun Baru Saka. Melakukan Catur Berata Penyepian dan Meditasi.
¯  Ngembak Geni.


HARI BHATARI SHRI :

¯  Sukra Umanis Menail,
¯  Sukra Umanis Kelawu,
¯  Sukra Umanis Ukir,
¯  Sukra Umanis Warigadian,
¯  Sukra Umanis Langkir,
¯  Sukra Umanis Merakih,
¯  Sukra Umanis Merakih,


LAINNYA :

¯  Buda Cemeng Menail.
¯  Buda Kliwon Ugu.
¯  Buda Wage Kelawu, ~ Buda Cemeng Kelawu.
¯  Redite Umanis Ukir, ~ Memuja Bhatara Hyang Guru.
¯  Buda Wage Ukir, ~ Buda Cemeng Ukir.
¯  Soma Umanis Tulu, ~ Memuja Bhatara-Bhatari di Merajan.
¯  Buda Kliwon Gumbreg.
¯  Buda Wage Warigadian, ~ Buda Cemeng Warigadian.
¯  Buda Wage Merakih, ~ Buda Cemeng Merakih.
¯  Buda Kliwon Matal.
¯  Anggara Pahing Medangkungan, ~ Memuja Hyang Widhi / Bhatara Brahma di Merajan Kawitan.
¯  Redite Umanis Ukir, ~ Memuja Bhatara Hyang Guru.
¯  Soma Umanis Tulu, ~ Memuja Bhatara/Bhatari di Merajan.


Demikian padat kegiatan rerainan yang diperingati umat di Bali. Belum lagi masyarakat  berbicara perihal upacara di pura-pura seperti : Kahyangan Jagat, Sad Kahyangan, Dang Kahyangan, Kahyangan Tiga, Dadia Keluarga. Lain lubuk lain ikannya, maksudnya, masing-masing desa Pakraman punya awig-awig adat, dengan kesepakatan inti adalah ngerombo karya.

            Namun sesungguhnya, kalau dicermati secara lebih mendalam, bahwa apa yang telah diwariskan tetua dalam berbagai perayaan ini sudah diatur sedemikian rupa. Ada keselarasan antara jaba dan jero yang oleh para tetua jadikan laku-fisik ( karma yoga ). Laku-jaba, adalah pelaksanaan persembahan berupa wujud/simbol-simbol/sesaji untuk Sang Pencipta. Sedangkan laku-jero, melaksanakan brata, yasa, ( yoga, Samadhi ).

            Apa yang semakin semarak lima tahun terakhir ini adalah laku-jaba. Persembahan serba wah… dengan etika laku yang tumpang tindih, seperti terlihat dari cara mereka berpakaian ke pura, dimana sangat sulit membedakan antara mana pemangku dan pemedek. Atau sudah pantaskah mereka memakai warna serba putih, ataukah sebatas sebagai kedok ?

                       
WINDUSARA MURTI